CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG JELITA

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG JELITA


CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG JELITA, Hasrat-Bispak41 Semuanya orang didalamnya harus berusaha dan berkorban agar tidak terdepak, serta tidak seluruhnya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang gak banyak yang mengenali nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, namun maknanya gak sekedar itu. Denok pula memiliki arti montok alias sintal, dan ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Saat kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu satunya Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Mulai sejak kecil saya diajari menari oleh Simbok, karena beliau sendiri waktu muda yakni orang penari, serta seringkali ditanggap jika ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti sewaktu satu hari saya serta Simbok menemukan Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak miliki banyak hutang karena sebab hilang ingatan judi, dan beliau tak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang berduka sebab Bapak tidak ada, namun juga kebingungan sebab beberapa waktu selesai Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah sebab rumah kami diambil alih biro judi yang memberinya hutang pada Bapak. Kami tidak miliki daerah tujuan, serta uang simpanan kami tidak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan. WAJIB 4D


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita bisa mencoba mencari uang, moga-moga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya cuman alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima karena dirasa pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak penting ijazah, rival sangat banyak. Selanjutnya selesai lumayan lama mengamati beragam peluang yang ada, Simbok memilih untuk memakai keterampilan kami. Hanya modal kemeja dan peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awali kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota lagi bersiap ujian akhir SMA atau menempuh tahun awalan kuliah, dan yang di dusun menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai jalani kehidupan baru, menjual ketrampilan seni tari bersama Simbok. Sebelumnya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, cuman cari keramaian di mana kami dapat mendapat beberapa lembar rupiah untuk bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengevaluasi jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya tidak mudah pula cari uang melalui cara seperti berikut, paling-paling yang kami peroleh cukup buat makan kami berdua, satu atau kedua kalinya di hari itu. Serta tidak di seluruhnya tempat kami dapat mendapatkan pirsawan yang mau bayar, terkadang kami justru ditendang atau dihardik. Seusai cukuplah lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat terus bisa pirsawan dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekelilingnya. Kami lantas sewa satu kamar sewaan murah di dekat Pasar. Banyak orang-orang di Pasar, yang dari golongan menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah semasing. Kedatangan kami di situ selalu disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Walau seringkali helai-lembar itu diserahkan kepada kami kurang santun misalkan dengan diumpetkan ke busana kami. Apa saya serta Simbok memang merayu? Entahlah ya. Saya sendiri tak berasa elok. Jadi anak petani yang kerap main di luar mulai sejak kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Namun Simbok pun sejak dahulu terus mengarahkan dan memperingatkan saya buat menjaga badan walau dengan langkah simpel, jadi meskipun sawo masak, kulit saya masih mulus serta tidak jerawatan apa lagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Ditimbang-timbang betul pula sich kalaupun di katakan saya montok. Tidak tahu mengapa, meskipun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap juga tubuh saya jadi bisa ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya udah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur hingga saya terus takut dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pun cepat karena dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang omong bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang menganggapnya demikian. Terherannya, kendati atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya kira masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu benar-benar elok. Sampai usia begitu juga beliau masih tetap elok. cerpensex.com Ditambah lagi bila sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok dan tidak saksikan apapun kembali. Saya sendiri terus berasa tidak baik lho jika tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia hanya saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Disamping Simbok, beberapa orang yang umum lihat kami menari kok seluruhnya ngomong saya elok. Saya berpikir, ini sich pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertama didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet benar-benar. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, sampai lain warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat makin tebal. Bibir  diberi gincu warna merah oke. Saya kala itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita perlu membikin suka yang menonton."


Lama-kelamaan saya biasa  pakai dandanan semacam itu, justru saya bikin jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari terbentuk penganten, sesaat kalaupun nikah betulan perlu seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, seperti sama kemben, kain batik, serta selendang. 


Tetapi memanglah yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang ketahui. 2 bulan kami tinggal di dekat Pasar, bencana hadir kembali. Waktu sedang nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kritis. Saya kuatir, beberapa orang disekitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok tidak terselamatkan. Simbok mati di rumah sakit sesudah 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sebetulnya sejak mulai ketabrak pun Simbok sudah tak ada impian, tetapi entahlah mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya hingga sepanjang hari. Sampai gak sampai hati saya memandangnya. Kala itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, maka itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara begitu. Tetapi apa itu betul atau gak, saya tidak ingin tahu, biarkanlah itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit serta penyemayaman, jadi perlu berutang kemanapun. Saya tidak dapat melangsungkan acara jenis-jenis buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana serta bertemu kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di kontrak saja lantaran begitu bersedih. Kemungkinan setiap hari saya menangis, bersusah-hati ingat Simbok, pun kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, karena uang telah habis serta saya  perlu temui banyak tukang tagih hutang yang tidak ingin tahu kepelikan saya . Maka, satu minggu sehabis Simbok dikebumikan, saya kembali bersiap untuk keluar, menari. Dihadapan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya supaya gak nampak sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, serasi keluar kamar saya justru bertemu dengan ibu yang punyai sewa. Sang ibu gak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak miliki uang, jadi saya sekedar dapat ngomong maaf, serta sang ibu malahan ngancam secara lembut. Gak apapun tidak bayar, tuturnya, namun esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya rintangan untuk saya. Saya ingin upaya dahulu, kata saya, kelak dapat saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG JELITA

Naasnya, hari itu pasar cukup sepi, serta sehabis dua jam saya anyar bisa Rp5000 selepas menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala banyak pemikiran, bagaimana tekniknya agar kelak jika pulang sudah memiliki cukup uang buat bayar sewaan. Belum hutang-hutang yang lain. Mendekati siang, saya sedang jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Serta di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan tengah mengalkulasi segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya saat itu cuman tahu beliau jadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua ketimbang Simbok, barangkali umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya berikan kami uang tetapi beliau tak. Namun beliau pernah pinjamkan uang terhadap Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendatangi Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam serta ada di belakang. Tokonya tengah sepi, tidak ada konsumen. WAJIB 4D


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan memandang saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Tetapi saya mesti katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis buat ongkos penyemayaman Simbok… saat ini saya harus bayar sewa dua bulan…"


"Hah?" Juragan memandang saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya telah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji akan balikkan selekas mungkin."


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang tadi ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberi hutang. Kamu penting uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya geram tetapi tidak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tak mau pinjamkan uang. "Sekedar seramnya saya tak dapat cukup dapat uang ini hari untuk bayar kontrak. Jika berjualan, saya nggak punyai apapun, harus jual apa?"


Namun terus tatapan Juragan kok beralih menjadi aneh… Beliau dekati saya serta memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa ngomong kamu tidak punyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengen kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga pipi saya melekat dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya memikirkan apa tujuannya itu.


"Kalaupun kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya butuh uang, namun apa harus dengan secara seperti berikut? Tetapi kalaupun tidak, bagaimana kembali? Yang ada saya bakalan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama pula. Saya tidak miliki opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga gak terdengaran. Bila saja tidak ketutupan bedak, kemungkinan telah tampak muka saya beralih merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan rupanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak miliki istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya selalu melihati lantai, tak berani membawa kepala, namun adakalanya saya ngintip ke sana-kemari menyaksikan kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang memberikan Juragan dengan seseorang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mempelajari sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian omong,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Barangkali ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," ujarnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, menyaksikan uang itu. Besar sekali untuk saya. Rata-rata sepanjang hari menari saya tak pernah mendapat uang sejumlah itu. Namun saya selalu sangsi. Juragan mendadak pengin ambil kembali uang itu.


"Jika tak ingin ya udah," ucapnya dengan suara kurang puas.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Sesuai tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum memandang saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membuat orang hasrat ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar selesai bicara itu. sumpah, anyar kesempatan ini ada lelaki berterus-terang ngaku semacam itu.


Helai uang lima puluh ribu tadi ditempatkan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia sisipkan ke… aduh! Ia berikan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tuturnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awal kalinya saya dan Simbok harus menari sepanjang hari, sampai pegal-pegal, buat mendapat duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya memperoleh duit sejumlah itu … kok enteng sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tidak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka seluruhnya," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang omong itu ke saya… Jantung saya deg-degan mendengarkannya. Juragan menarik kain kemben masih yang ditahan tangan saya, serta kainnya melaju demikian saja tanpa ada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat beroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan memohon saya membuka pun kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena kemungkinan barusan saya malu dan lamban satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya dan mengungkap kain batik saya. Saya langsung mundur, namun tangan Juragan lalu menggenggam bahu saya.


"Gak boleh takut, Denok…" ujarnya.


Juragan  menggenggam paha saya masih yang beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu sebab sentuhan Juragan. Tangannya selanjutnya nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, serta saya semakin deg-degan. Ia selalu remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya lagi nyibak kain saya, hingga ke dekat pinggang… Duh, biyung, lagi diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga sampai paha saya udah dikeluarkan dari buntelnya, sedikit kembali kancut saya terlihat!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya selalu nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa sebaiknya saya lepas ?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sembari saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, namun gak tahu mengapa, saya  kok merasa nafsu saya bangun? Aduh? Kok seperti ini jadi? Juragan tiada henti menyaksikan sekujur badan saya, sekalian memberikan pujian.


"Marilah donk, gak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, kalaupun kamu pengen kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan ditempatkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… pengin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama